Belajar dari Pengalaman
A
A
A
Experiental learning dipandang sebagai metode pembelajaran yang efektif bagi anak. Di sini anak belajar melalui pengalaman langsung. Seperti apa? Artis Shelomita mengaku sangat menyukai konsep edukasi experiential learningatau belajar dari pengalaman yang dialami secara langsung.
Menurut dia, konsep edukasi ini selain edukatif, juga bisa merangsang imajinasi, kreativitas, dan membuat anak-anak lebih menghargai hal yang mereka alami. “Karena kalau anak diajarkan pola menghafal, pasti 80% bisa lupa. Namun, dengan mengalami langsung malah bisa lebih meresap dan terus diingat anak,” beber Shelomita dalam acara pembukaan Wahana Aqua Water Research Training Center di Kidzania, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Saat dewasa, wanita yang juga pemerhati pendidikan anak ini menyebutkan, manusia akan memilih mana yang disukai untuk diingat. Umumnya yang kita tidak suka akan dilupakan karena dianggap tidak penting. Konsep experiential learning, kata ibu lima orang anak ini, mengajak si buah hati mengalami serta menjalankan langsung suatu aktivitas sehingga lebih meninggalkan kesan dan teringat hingga dewasa.
“Konsep edukasi ini juga selalu saya terapkan di rumah dari hal-hal terkecil seperti beres-beres kamar dan selalu menjaga kebersihan rumah atau bahkan membantu masak di dapur,” kata Shelomita. Experiental learning merupakan proses pembelajaran yang mengonstruksi pengetahuan di dalam kepala seseorang melalui aktivitas pengalaman.
“Manfaatnya akan membuat anak paham betul melalui sebuah pengalaman,” kata psikolog Ratih Ibrahim. Semakin dini metode ini dilakukan, maka akan semakin efektif karena anak bukan hanya bermain, juga belajar. Penerapannya sangat mudah. Orang tua bisa mengajarkan anak mengenai makan sehat, misalnya.
“Ajak anak memilih menu yang sehat, lalu ajak ke pasar membeli bahan masakan, selanjutnya suruh anak masuk dapur untuk masak bersama,” saran Ratih. Selain itu, ajak anak berkebun. Kegiatan ini mendorong anak untuk lebih menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan alam, maka saat dewasa akan terus teringat di kepalanya. Dengan begitu, dikatakan Ratih, anak tidak akan gegabah dalam mengambil suatu keputusan yang bisa merusak alam saat dia dewasa.
“Paling mudah adalah libatkan selalu anak-anak dalam pekerjaan di rumah. Seperti beres-beres rumah hingga memasak. Dengan begitu, anak-anak juga akan lebih menghargai proses karena pernah mengalami langsung. Namun, orang tua juga ikut melakukannya. Dengan begitu, anak akan mencontoh dan terbentuk pola pikir mandiri hingga ia dewasa,” ungkap Ratih.
Ratih juga menyarankan orang tua untuk tidak membeda-bedakan anak laki-laki dan perempuan. Keduanya bisa dilibatkan dalam pekerjaan rumah. Begitu juga dengan orang tua, ayah harus bisa ikut mencontohkan kalau laki-laki pun boleh memasak di dapur.
“Seperti halnya bila ayah mengganti popok anaknya saat kecil. Ketika besar, sang anak tidak akan merasa malu atau aneh mengerjakan hal-hal yang identik dengan perempuan walaupun ia laki-laki. Karena di bawah alam sadarnya, ia ingat sang ayah pernah mengganti popoknya,” ujar Ratih.
Jika orang tua ingin menerapkan metode ini kepada sang anak, Ratih mengimbau untuk memperhatikan hal berikut, yakni kesesuaian usia dan faktor keamanan. “Misalnya mengajarkan anak memotong sayur, apakah sudah sesuai dengan umur anak dan perhatikan faktor keamanannya. Apakah sudah pantas dan aman ia memegang pisau,” sebut Ratih.
Sri noviarni
Menurut dia, konsep edukasi ini selain edukatif, juga bisa merangsang imajinasi, kreativitas, dan membuat anak-anak lebih menghargai hal yang mereka alami. “Karena kalau anak diajarkan pola menghafal, pasti 80% bisa lupa. Namun, dengan mengalami langsung malah bisa lebih meresap dan terus diingat anak,” beber Shelomita dalam acara pembukaan Wahana Aqua Water Research Training Center di Kidzania, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Saat dewasa, wanita yang juga pemerhati pendidikan anak ini menyebutkan, manusia akan memilih mana yang disukai untuk diingat. Umumnya yang kita tidak suka akan dilupakan karena dianggap tidak penting. Konsep experiential learning, kata ibu lima orang anak ini, mengajak si buah hati mengalami serta menjalankan langsung suatu aktivitas sehingga lebih meninggalkan kesan dan teringat hingga dewasa.
“Konsep edukasi ini juga selalu saya terapkan di rumah dari hal-hal terkecil seperti beres-beres kamar dan selalu menjaga kebersihan rumah atau bahkan membantu masak di dapur,” kata Shelomita. Experiental learning merupakan proses pembelajaran yang mengonstruksi pengetahuan di dalam kepala seseorang melalui aktivitas pengalaman.
“Manfaatnya akan membuat anak paham betul melalui sebuah pengalaman,” kata psikolog Ratih Ibrahim. Semakin dini metode ini dilakukan, maka akan semakin efektif karena anak bukan hanya bermain, juga belajar. Penerapannya sangat mudah. Orang tua bisa mengajarkan anak mengenai makan sehat, misalnya.
“Ajak anak memilih menu yang sehat, lalu ajak ke pasar membeli bahan masakan, selanjutnya suruh anak masuk dapur untuk masak bersama,” saran Ratih. Selain itu, ajak anak berkebun. Kegiatan ini mendorong anak untuk lebih menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan alam, maka saat dewasa akan terus teringat di kepalanya. Dengan begitu, dikatakan Ratih, anak tidak akan gegabah dalam mengambil suatu keputusan yang bisa merusak alam saat dia dewasa.
“Paling mudah adalah libatkan selalu anak-anak dalam pekerjaan di rumah. Seperti beres-beres rumah hingga memasak. Dengan begitu, anak-anak juga akan lebih menghargai proses karena pernah mengalami langsung. Namun, orang tua juga ikut melakukannya. Dengan begitu, anak akan mencontoh dan terbentuk pola pikir mandiri hingga ia dewasa,” ungkap Ratih.
Ratih juga menyarankan orang tua untuk tidak membeda-bedakan anak laki-laki dan perempuan. Keduanya bisa dilibatkan dalam pekerjaan rumah. Begitu juga dengan orang tua, ayah harus bisa ikut mencontohkan kalau laki-laki pun boleh memasak di dapur.
“Seperti halnya bila ayah mengganti popok anaknya saat kecil. Ketika besar, sang anak tidak akan merasa malu atau aneh mengerjakan hal-hal yang identik dengan perempuan walaupun ia laki-laki. Karena di bawah alam sadarnya, ia ingat sang ayah pernah mengganti popoknya,” ujar Ratih.
Jika orang tua ingin menerapkan metode ini kepada sang anak, Ratih mengimbau untuk memperhatikan hal berikut, yakni kesesuaian usia dan faktor keamanan. “Misalnya mengajarkan anak memotong sayur, apakah sudah sesuai dengan umur anak dan perhatikan faktor keamanannya. Apakah sudah pantas dan aman ia memegang pisau,” sebut Ratih.
Sri noviarni
(ars)